Senin, 13 Januari 2014

MULUDAN. SAATNYA BELANJA (MAINAN)!!!



Dulu, duluuu..... sekali, itu yang terjadi.
          Puluhan tahun yang lalu, ketika umur belum lagi dua digit, ketika hampir setiap kali bangun tidur badan bau pesing, ketika ingus bisa ketarik sampai pipi, ketika menangis jadi rutinitas harian... saat MULUDAN (lebih banyak diucapkan: Mulutan) adalah momentum yang sangat saya tunggu selain, tentunya, lebaran.
          Mengapa sangat pantas ditunggu? Karena inilah saatnya belanja besar. Belanja mainan!
          Yang sangat saya suka bukan hanya karena banyaknya macam barang yang bisa saya beli, tapi yang lebih menyenangkan adalah, saya punya hak pilih dan hak untuk memutuskan beli ini itu maupun tidak.
          Hal itu bila dibandingkan belanja lebaran yang lebih banyak ke arah belanja sandang, di posisi mana saya hanya punya hak pilih, tanpa hak memutuskan. Karena orang tua pasti lebih paham yang pantas atau tidak.
          Tentu tidak semua mainan yang jadi target bisa terbeli. Selain karena tergantung kondisi keuangan keluarga, juga harus berbagi dengan lima saudara kandung yang lain.

Saat perhelatan tahunan itu tiba, Pasar Malam di Lapangan Pacarkeling menjadi tujuan utama saya bersaudara dan anak-anak lain yang tinggal di Kampung Gresikan, Surabaya Timur. Begitu juga anak-anak dari kampung lain sekitar Pacarkeling.
          Berjarak sekitar satu kilometer dari Gresikan, kami biasanya berjalan kaki melewati Kampung Jedong dan Kampung Jolotundo sebelum masuk Kampung Pacarkeling.
          Dan kami bisa beberapa kali mendatangi dalam rentang waktu buka pasar tersebut, yang kalau tidak salah satu bulan penuh, atau mungkin cuma dua minggu saja. Entahlah, waktu itu saya tidak terlalu memperhatikannya.
          Karena namanya pasar malam, tentu jam praktek para pedagangnya malam hari. Meski begitu sejak sore ba’da ashar sudah banyak pedagang yang menggelar dagangannya.
          Ya, kecuali penjual makanan, yang menjajakan dagangannya di atas meja atau rombong, kebanyakan pedagang mainan memang menggelar dagangannya di atas tanah beralaskan plastik. Lapangan itu memang tanpa rumput. Berdebu saat kemarau, becek ketika hujan.

Yang seru, karena Event Organisernya (entah siapa) tidak memberi fasilitas listrik, banyak pedagang yang masih memakai penerangan Lampu Minyak Tanah atau disebut juga Lampu Teplok alias Ublik, sehingga suasana pengenalan produk sampai transaksi cenderung remang-remang.
          Sementara pedagang yang punya modal lebih, menggunakan penerangan Lampu Petromax atau disebut juga StrongKing (nama merk).

Saking banyaknya mainan yang dijual di pasar malam saat itu, kalau sekarang dibuat daftarnya, bisa jadi seperti ini:
  • ·         Topeng  (berbahan) kertas.
  • ·         Pedang-pedangan.
  • ·         Theng-thengan (Ciluk).
  • ·         Kapal othok-othok.
  • ·         Truk dari kayu.
  • ·         Yoyo kayu.



          Lho, kok cuma enam macam? Ternyata tidak terlalu banyak juga ya. (Sepertinya kesetiaan daya ingat saya sudah berkurang)
          Eits... masih ada mainan Muludan lain, tapi yang ini untuk anak wanita:
  • ·         Perabotan rumah tangga mini dari kayu.
  • ·         Peralatan masak mini.
  • ·         Perlengkapan tidur mini.


          Ada juga sih pedagang yang menjual mainan lain yang bukan khas Muludan, seperti:
  • ·         Pres.
  • ·         Gambar.
  • ·         Tulup.
  • ·         Kelereng.
  • ·         Ketapel.



Di lapangan yang sama bisa ditemukan juga hiburan Tong Setan, Komidi Putar, Sulap Potong Kepala. Tentu semua itu berbayar.
          Seingat saya, saat itu panggung dangdut megal-megol belum ada, jadi tidak banyak kasus perkelahian serius.

Kuliner? Kalau capek keliling, haus atau lapar bisa jajan juga sepuasnya. Ada almarhum Es Gronjong, almarhum Es Gandhul Tali Merang, almarhum Es Temulawak, almarhum Es Limun, almarhum Es Lilin, Es Cao.
          Makanan ringan ada Jajan Pasar, seperti Tiwul, Blendung, Klanting, Lapis, Gethuk...



That’s it!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar